Apa Bedanya Andong, Bendi, Cidomo, Delman, Dokar, dan Sado?
Ketika masih kecil, saya kerap melihat dokar di pasar yang sesekali juga masuk kampung saya. Jika ada dokar lewat dekat rumah, saya pasti mendengar suara sepatu kuda dan suara klentengan yang berayun di leher kuda. Sungguh khas suaranya. Di kampung saya, dokar digunakan untuk mengangkut orang, hasil panen, dan belanjaan pasar. Sesekali dokar juga digunakan untuk acara pilihan lurah. Lama-kelamaan saya tahu kereta-kereta kuda yang mirip dengan dokar di kampung saya.
Sejauh ini, saya mengetahui beberapa kereta-kereta kuda lainnya yang menyebar di seluruh Indonesia. Selain dokar ternyata ada juga andong, bendi, cidomo, delman, dan sado. Sekilas keenam kereta kuda itu sama, namun jika diamati dengan seksama kita bisa menemukan sedikit perbedaannya.
1. Andong
Sebagai alat transportasi tradisional, Andong sudah terkenal di daerah Jogja, Solo, dan daerah sekitarnya seperti Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Salatiga. Meskipun alat-alat transportasi modern sudah ada di mana-mana, andong tetap bertahan karena masih ada orang yang ingin melestarikan salah satu warisan budaya Jawa ini. Andong punya ciri khas dengan empat roda yang membuat kereta kuda ini lebih stabil ketika berjalan. Dengan bentuk kereta yang relatif besar, kadang andong ditarik dengan dua ekor kuda, meskipun biasanya satu ekor kuda saja juga cukup.
2. Bendi
Bendi adalah salah satu alat transportasi tradisional di Provinsi Sumatera Barat. Di area wisata Jam Gadang Bukittinggi, kita bisa banyak menemukan bendi-bendi wisata yang bisa mengantarkan wisatawan berkeliling Jam Gadang tersebut. Naik bendi tidak mahal lho, ketika jalan-jalan ke Bukittinggi beberapa tahun lalu saya hanya membayar Rp. 15.000,- untuk naik bendi wisata ini. Berbeda dengan andong, bendi ini hanya memiliki dua roda dan ditarik dengan satu ekor kuda saja. Ukuran keretanya kecil sehingga hanya bisa dinaiki empat orang dewasa, termasuk sang kusir. Karena hanya beroda dua, kadang naik bendi terasa kurang stabil, tapi mungkin di situlah sensasinya naik alat transportasitradisional.
3. Cidomo
Di Pulau Lombok, alat transportasi tradisional yang ditarik dengan kuda dinamakan Cidomo atau juga dikenal dengan Cimodok. Cimodo merupakan alat transportasi yang diandalkan di daerah-daerah terpencil yang belum dijangkau sarana transportasi modern. Selain itu, Cimodo banyak ditemukan di pasar dan di terminal. Cidomo mempunyai bentuk mirip dengan bendi. Cidomo memiliki dua roda dan ditarik dengan satu ekor kuda. Bedanya, Cidomo tidak menggunakan roda kayu tapi menggunakan roda mobil bekas. Bentuk keretanya pun sedikit beda dengan kereta-kereta kuda lainnya, kereta Cidomo terkesan lebih sederhana dan tanpa hiasan. Asal nama Cidomo berasal dari kata Cikar, Dokar, dan Mobil. Cikar merupakan kereta kuda kuno khas Pulau Lombok yang kemudian dimodifikasi sesuai fungsi dokar dan ban mobil, jadilah Cidomo yang masih bertahan sampai saat ini.
4. Delman
Keberadaan delman sudah terekam sejak zaman penjajahan Belanda. Konon nama delman berasal dari nama seorang insinyur Belanda yaitu Charles Theodore Deeleman. Delman menjadi kereta kuda pertama yang kemudian diadaptasi di beberapa daerah dengan nama-nama yang berbeda. Pada masa penjajahan Belanda, delman digunakan sebagai alat transportasi antar kota sebelum trem dan kereta masuk ke Indonesia. Pada masa itu, tidak jarang ditemukan delman yang mengantarkan penumpang dari Jakarta ke Bandung. Saya sih tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya sang kuda yang bekerja rodi itu. Dari awalnya, delman memiliki bentuk yang sudah bervariasi dengan dua sampai empat roda. Kuda penarik delman kadang satu ekor dan kadang juga dua ekor.
5. Dokar
Dokar merupakan salah satu pengembangan dari delman. Penamaan dokar berasal dari para pribumi yang menirukan kata “Dog Car” yang kerap dikatakan para penjajah. Meskipun pengertian “kendaraan yang ditarik anjing” itu salah, sampai sekarang orang sudah terbiasa menyebut kereta kuda ini sebagai dokar. Dokar menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa dengan beberapa modifikasi bentuk, tapi dengan pola yang sama. Dokar memiliki ciri khas dengan kereta di atas dua roda dan ditarik dengan satu ekor kuda saja. Di daerah Jawa Barat, dokar dikenal dengan nama “Kahar” atau “Keretek”. Kahar memiliki bentuk sedikit lebih tinggi dari dokar dan memiliki tempat pijakan naik penumpang yang lebih lebar.
6. Sado
Sado juga merupakan salah satu perkembangan dari kereta kuda delman. Dulu orang Belanda menyebut delman sebagai “dos-à-dos” yang dalam Bahasa Perancis mengandung arti “punggung pada punggung” atau kereta yang para penumpangnya beradu punggung. Entah bagaimana ceritanya, para pribumi terbiasa menyebut “dos-à-dos” dengan nama “sado”. Sado memiliki kereta dengan dua roda dan ditarik dua kuda, serta secara fisik lebih rendah dari dokar. Kusir sado sering dipanggil sais. Dalam kereta sado memiliki empat tempat duduk, dua menghadap ke depan termasuk satunya kusir dan dua menghadap ke belakang. Itulah sebabnya para penumpang sado saling memunggungi satu sama lain.
Keenam kereta kuda ini memang sekilas mirip tapi masih bisa dibedakan. Di beberapa kota, keberadaan kereta kuda ini memang dibatasi karena alasan kebersihan padahal saat ini semua kereta kuda sudah dilengkapi dengan penampung kotoran kuda. Di Jakarta, kereta kuda masih bisa ditemukan di beberapa lokasi, seperti delman wisata di kawasan Monumen Nasional. Di pinggiran Jakarta, misalnya di daerah Joglo, Jakarta Barat, andong masih bertahan menembus zaman. Andong-andong ini mengantarkan penumpang sampai ke kawasan Cipulir, Jakarta Pusat. Ongkos naik andong ini cuma Rp. 1.000,- jauh-dekat sama. Meskipun jalannya sangat lambat, namun andong tidak kehabisan penumpang. Selain itu, andong digemari karena tidak menimbulkan pencemaran udara.
0 komentar
Posting Komentar